
Tarif Resiprokal AS: Tantangan dan Peluang bagi Industri RI


Kawasan industri menjadi garda depan dalam menghadapi dinamika perdagangan global, termasuk kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Kementerian Perindustrian (Kemenperin), bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang KEK, Kawasan Industri & PSN dan Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) menggelar Dialog Nasional bertajuk “Kesiapan Kawasan Industri dalam Menangkap Peluang Investasi Imbas Kebijakan Tarif Resiprokal Amerika Serikat”. Forum ini bertujuan merumuskan langkah strategis kawasan industri agar tetap kompetitif, menarik investasi, dan memperkuat struktur industri nasional.
"Sebagai lokomotif ekonomi nasional, sektor industri harus bersiap menyambut dinamika baru perdagangan internasional. Kawasan industri harus menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang efisien, kompetitif, dan berkelanjutan," ujar Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Tri Supondy dalam sambutannya pada acara tersebut di Jakarta (10/6).
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat (AS) sejak April 2025 memberi tekanan bagi produk Indonesia yang selama ini masuk ke pasar AS, terutama dari sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan otomotif. Selain berdampak pada ekspor, kebijakan ini juga memicu relokasi industri dari negara lain, yang bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi baru ke kawasan industrinya.
Di tengah ketegangan geopolitik dan tren proteksionisme global, Indonesia perlu menjaga ekosistem industrinya tetap kondusif. Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 170 kawasan industri dengan luas lahan mencapai 96 ribu hektare. Tingkat okupansi lahan mencapai 58,39 persen dan terus meningkat setiap tahunnya. Penyebaran kawasan industri pun makin merata, dengan pertumbuhan signifikan di luar Pulau Jawa.
Potensi Relokasi dan Peluang Baru
Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat sejak April 2025 ditujukan untuk mengurangi defisit dagang dan mendorong perlakuan setara dari negara mitra, termasuk Indonesia. Akibatnya, beberapa industri AS berpotensi merelokasi produksinya dari Tiongkok atau negara terdampak ke kawasan yang lebih kompetitif seperti Indonesia.
Peluang ini terbuka lebar, terutama bagi kawasan industri yang memiliki kesiapan infrastruktur, akses pasar alternatif, dan insentif yang menarik. Kawasan industri di luar Jawa yang tengah berkembang, seperti di Sulawesi dan Kalimantan, juga menjadi incaran investor baru dari sektor manufaktur berteknologi tinggi dan energi hijau.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Peningkatan tarif terhadap produk Indonesia bisa menurunkan daya saing dan menyebabkan gangguan rantai pasok global. Tanpa strategi mitigasi yang jelas, hal ini dapat berdampak pada ekspor nasional dan tenaga kerja di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki.
HKI memandang pentingnya penyusunan contingency plan nasional untuk kawasan industri guna merespons gejolak kebijakan global. "Kita harus segera mendorong diversifikasi pasar ekspor di luar AS dan meningkatkan investasi sektor domestik seperti pangan, farmasi, dan digital," ungkap Satrio Witjaksono, Wakil Ketua Umum Bidang Investasi dan Hubungan Internasional HKI.
HKI juga menyoroti kebutuhan akan skema insentif khusus bagi industri ekspor yang terdampak langsung kebijakan tarif. Bentuknya bisa berupa pengurangan pajak, subsidi bahan baku, atau pembiayaan khusus yang membuat produk Indonesia tetap kompetitif di pasar global.
Data HKI menunjukkan bahwa kawasan industri anggota HKI mencakup sekitar 120 kawasan dengan luas total lebih dari 138.000 hektar, namun baru 58,39% lahan yang terokupansi. Ini artinya, masih banyak ruang yang dapat dimanfaatkan untuk ekspansi dan relokasi industri baru.
KADIN Indonesia menegaskan bahwa daya tarik investasi tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada kepastian dan efisiensi perizinan. "Optimalisasi OSS dan harmonisasi regulasi pusat-daerah menjadi prioritas. Perlu one-stop service yang nyata di kawasan industri," ujar Akhmad Ma’ruf Maulana, Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri, dan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kawasan industri harus mengedepankan model Smart Eco Industrial Park yang berbasis prinsip keberlanjutan dan teknologi digital seperti Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI) untuk efisiensi pengelolaan. Hal ini akan menarik investor dari sektor ramah lingkungan dan berteknologi tinggi.
Tak kalah penting adalah kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM). KADIN mendorong kemitraan antara kawasan industri dan lembaga pendidikan untuk mencetak tenaga kerja sesuai kebutuhan industri, termasuk pelatihan vokasi dan sertifikasi berbasis permintaan pasar.
Kawasan Industri: Pilar Asta Cita
Kawasan industri menjadi tulang punggung agenda pembangunan industri dalam kerangka Asta Cita. Pendekatan pengembangan wilayah seperti Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI), Kawasan Peruntukan Industri (KPI), dan Sentra Industri Kecil Menengah (IKM) ditujukan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam lima tahun ke depan, sebanyak 24 kawasan industri ditetapkan sebagai prioritas nasional berdasarkan RPJMN 2025–2029. Kawasan-kawasan ini, sebagian besar berada di luar Pulau Jawa, siap menjadi magnet investasi baru yang lebih merata secara geografis.
Transformasi kawasan industri tidak hanya soal lahan dan bangunan, tapi juga soal daya saing, digitalisasi, dan kelengkapan layanan. Oleh karena itu, kolaborasi lintas sektor antara pemerintah pusat, daerah, dan swasta menjadi prasyarat mutlak menuju kawasan industri masa depan.
Hubungan bilateral Indonesia dan AS menjadi fondasi kuat di tengah ketidakpastian global. Sebagai salah satu dari dua negara Comprehensive Strategic Partnership (CSP) yang dimiliki AS, posisi Indonesia sangat krusial dalam menjaga stabilitas perdagangan, khususnya menghadapi kebijakan tarif resiprokal. Indonesia memilih jalur negosiasi, meskipun prosesnya panjang seperti yang dialami Inggris.
Untuk itu, langkah strategis harus segera disusun, mulai dari mitigasi dampak jangka pendek, pemetaan produk yang terkena tarif tinggi, hingga penguatan posisi dalam rantai pasok global dan perluasan akses pasar. “Indonesia harus tetap optimis dan cermat menavigasi perang dagang ini dengan menggenjot pasar intra-Asia, mengaktifkan kerja sama ekonomi dengan mitra utama seperti Jepang dan Uni Eropa, serta terus memperbaiki iklim investasi dalam negeri”, tambah Direktur Amerika I Kemlu, Iwan Freddy Hari Susanto. Dengan dukungan diplomatik yang kuat, kawasan industri Indonesia bisa tampil lebih percaya diri di mata dunia.
Sebagai penutup, Dirjen KPAII Kemenperin menegaskan kembali pentingnya sinergi semua pihak. "Kawasan industri harus mampu menyiapkan lokasi utama tujuan investasi yang kompetitif, efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Kolaborasi lintas sektor jadi kunci untuk menjawab tantangan global saat ini." tandasnya.
Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.